Selasa, 03 April 2012

Mahatma Gandhi


Hampir setiap hari Mahatma Gandhi meluangkan waktu beberapa jam untuk menulis. Ia banyak mengerjakan surat-menyurat, menyunting beberapa koran, dan membantu rancangan resolusi organisasi-organisasi. Karya kumpulannya, kebanyakan terdiri dari surat dan artikel pendek. Gandhi adalah salah seorang pemikir yang paling kompleks, rumit dan unik di abad ke-20. Untuk memahami dia selengkapnya perlu pembacaan yang sangat luas dan analisis yang hati-hati, khususnya karena para pengagumnya sering menggambarkan dia sebagai malaikat, sementara para pencelanya suka melecehkan citra sucinya itu. Jarang dia diperlakukan secara seimbang dan penuh nuansa.

Karya pertama Gandhi,  Hind Swaraj, sebuah buku kecil yang ia tulis pada awal hidupnya sebagai aktivis di Afrika Selatan pada 1909. Karya ini adalah semacam manifesto antikolonialisme, antimodernisme, dan anti-kekerasan. 

Perlawanan pasif adalah sarana yang diusulkan Gandhi untuk mencapai swaraj India. Apa itu swaraj? Ia ingin India bukan hanya bebas dari Inggris tetapi juga dari “peradaban modern.” Para nasionalis pada zaman itu, baik kelompok moderat yang menggunakan petisi secara damai maupun ekstrimis yang mengandalkan senjata, tidak mempunyai visi India merdeka selain replika negara Eropa yang dipimpin penguasa India. Meski demikian,  Gandhi mengangankan India merdeka menggunakan lembaga politik yang sama sekali berbeda dari lembaga politik Eropa, suatu peradaban yang berbeda. Penolakan Gandhi terhadap peradaban modern bersifat menyeluruh: ia menolak parlemen, pengadilan, kedokteran modern, teknologi industri, pabrik, jalan kereta api dan pendidikan dalam bahasa Inggris. Ia menyebut peradaban modern “peradaban iblis,” suatu penyakit, segala hal yang bertentangan dengan kehidupan yang sehat dan bahagia.

Gandhi dipuja-puja sebagai “bapak bangsa.” Patung, gambar, dan potret dirinya ada di mana-mana. Setiap kota besar maupun kecil mengambil namanya untuk jalan utamanya. Orang harus ingat bahwa bertentangan dengan pemujaan resmi pemerintah terhadapnya, ia sendiri tidak pernah tertarik pada kekuasaan. Pada saat kemerdekaan di 1947, ketika para pemimpin Kongres di New Delhi bergembira karena memperoleh kekuasaan pemerintahan, Gandhi berduka cita, putus asa melihat kekerasan antara orang Hindu dan Muslim. Ia berjalan jauh ke desa-desa di Bengali berusaha mencegah kekerasan berlanjut. Kemerdekaan India tidak ada hubungannya dengan swaraj yang ia uraikan dalam Hind Swaraj, 38 tahun sebelumnya. Pemimpin-pemimpin Kongres, semisal Sardar Patel yang dikenal sebagai “manusia besi” karena ketelengasannya, dan Jawaharlal Nehru, yang memuja industri, memanfaatkan Gandhi untuk mobilisasi massa, kemudian dengan segera menyingkirkannya begitu mereka menguasai pemerintahan. Bila Gandhi benar-benar bapak bangsa, ia tidak diakui anggota keluarga lainnya, walaupun masih dihormati secara ritual, dan ia sendiri tidak mengakui anak yang terlahir.

Kini di India, kecuali kaum chauvinis Hindu sayap kanan ekstrim, yang membunuhnya di 1948 karena menuduh ia mengkhianati kaum Hindu dan memihak kaum Muslim, semua pihak yang berbeda pandangan politik menghormatinya: Marxis, feminis, pembela lingkungan, kaum konservatif, dan lain-lain. Hidupnya cukup kompleks sehingga masing-masing orang bisa mengambil bagian tertentu hidupnya untuknya sendiri. Namun demikian, satu hal harus digarisbawahi dari Hind Swaraj: Gandhi adalah aktivis politik yang juga sama pedulinya terhadap gerakan sosial untuk keadilan maupun terhadap diet dan introspeksi-diri. Ia berusaha menyatukan yang pribadi dan yang politis dalam suatu visi utopis untuk masyarakat baru. Ketika India dan dunia bergerak semakin menjauh dari visi tersebut dan merosot menjadi masyarakat kejam dengan ketidakadilan yang parah, di mana penguasa neoliberal tiada lagi peduli terhadap kaum miskin dan membiarkan mereka mati begitu saja, tulisan-tulisan Gandhi bisa membantu kita menghidupkan kembali daya berimajinasi utopis — suatu imajinasi yang diperlukan agar aktivisme politik tidak menjadi permainan kekuasaan yang sinis dan kejam belaka.

JOHN ROOSA, Sejarawan yang bermukim di Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More