Hampir setiap hari Mahatma Gandhi
meluangkan waktu beberapa jam untuk menulis. Ia banyak mengerjakan
surat-menyurat, menyunting beberapa koran, dan membantu rancangan resolusi
organisasi-organisasi. Karya kumpulannya, kebanyakan terdiri dari surat
dan artikel pendek. Gandhi adalah salah seorang
pemikir yang paling kompleks, rumit dan unik di abad ke-20. Untuk memahami dia
selengkapnya perlu pembacaan yang sangat luas dan analisis yang hati-hati,
khususnya karena para pengagumnya sering menggambarkan dia sebagai malaikat,
sementara para pencelanya suka melecehkan citra sucinya itu. Jarang dia
diperlakukan secara seimbang dan penuh nuansa.
Karya pertama Gandhi, Hind
Swaraj, sebuah buku kecil yang ia tulis pada awal hidupnya sebagai aktivis di
Afrika Selatan pada 1909. Karya ini adalah
semacam manifesto antikolonialisme, antimodernisme, dan anti-kekerasan.
Perlawanan
pasif adalah sarana yang diusulkan Gandhi
untuk mencapai swaraj India. Apa itu swaraj? Ia ingin India bukan hanya bebas dari Inggris tetapi juga
dari “peradaban modern.” Para nasionalis pada zaman itu, baik kelompok moderat
yang menggunakan petisi secara damai maupun ekstrimis yang mengandalkan
senjata, tidak mempunyai visi India merdeka selain replika negara Eropa yang
dipimpin penguasa India. Meski
demikian, Gandhi mengangankan India merdeka menggunakan lembaga politik yang sama
sekali berbeda dari lembaga politik Eropa, suatu peradaban yang berbeda. Penolakan Gandhi terhadap peradaban
modern bersifat menyeluruh: ia menolak parlemen, pengadilan, kedokteran modern,
teknologi industri, pabrik, jalan kereta api dan pendidikan dalam bahasa
Inggris. Ia menyebut peradaban modern “peradaban iblis,” suatu penyakit, segala hal yang bertentangan dengan kehidupan yang sehat dan bahagia.
Gandhi dipuja-puja sebagai “bapak bangsa.”
Patung, gambar, dan potret dirinya ada di mana-mana. Setiap kota besar maupun
kecil mengambil namanya untuk jalan utamanya. Orang harus ingat bahwa
bertentangan dengan pemujaan resmi pemerintah terhadapnya, ia sendiri tidak
pernah tertarik pada kekuasaan. Pada saat kemerdekaan di 1947, ketika para
pemimpin Kongres di New Delhi bergembira karena memperoleh kekuasaan
pemerintahan, Gandhi
berduka cita, putus asa melihat kekerasan antara orang Hindu dan Muslim. Ia
berjalan jauh ke desa-desa di Bengali berusaha mencegah kekerasan berlanjut.
Kemerdekaan India tidak ada hubungannya dengan swaraj yang ia uraikan dalam
Hind Swaraj, 38 tahun sebelumnya. Pemimpin-pemimpin Kongres, semisal Sardar
Patel yang dikenal sebagai “manusia besi” karena ketelengasannya, dan
Jawaharlal Nehru, yang memuja industri, memanfaatkan Gandhi untuk mobilisasi massa, kemudian
dengan segera menyingkirkannya begitu mereka menguasai pemerintahan. Bila Gandhi benar-benar bapak
bangsa, ia tidak diakui anggota keluarga lainnya, walaupun masih dihormati
secara ritual, dan ia sendiri tidak mengakui anak yang terlahir.
Kini di
India, kecuali kaum chauvinis Hindu sayap kanan ekstrim, yang membunuhnya di
1948 karena menuduh ia mengkhianati kaum Hindu dan memihak kaum Muslim, semua
pihak yang berbeda pandangan politik menghormatinya: Marxis, feminis, pembela
lingkungan, kaum konservatif, dan lain-lain. Hidupnya cukup kompleks sehingga
masing-masing orang bisa mengambil bagian tertentu hidupnya untuknya sendiri.
Namun demikian, satu hal harus digarisbawahi dari Hind Swaraj: Gandhi adalah aktivis politik
yang juga sama pedulinya terhadap gerakan sosial untuk keadilan maupun terhadap
diet dan introspeksi-diri. Ia berusaha menyatukan yang pribadi dan yang politis
dalam suatu visi utopis untuk masyarakat baru. Ketika India dan dunia bergerak
semakin menjauh dari visi tersebut dan merosot menjadi masyarakat kejam dengan
ketidakadilan yang parah, di mana penguasa neoliberal tiada lagi peduli
terhadap kaum miskin dan membiarkan mereka mati begitu saja, tulisan-tulisan Gandhi bisa membantu kita
menghidupkan kembali daya berimajinasi utopis — suatu imajinasi yang diperlukan
agar aktivisme politik tidak menjadi permainan kekuasaan yang sinis dan kejam
belaka.
JOHN
ROOSA, Sejarawan yang bermukim di Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar